Detik Islam

Hukum Wanita Muslimah Menampakkan Auratnya Di Depan Wanita Kafir (Non Muslim)

DETIKISLAM.COM – Pada dasarnya para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan wanita Muslimah menampakkan auratnya di depan wanita-wanita kafir. Jumhur ulama berpendapat, seorang wanita Muslimah dilarang terlihat auratnya di depan wanita-wanita kafir. Sedangkan ulama lain berpendapat, sebaliknya, yakni bolehnya seorang wanita Muslimah terlihat auratnya di depan wanita kafir.[1]

Perbedaan pendapat di antara mereka disebabkan karena perbedaan pendapat dalam menafsirkan frase ”nisaa`ihinna” pada surat An Nuur (24) ayat 31.Sebagian ulama mengkhususkan wanita pada konteks ayat tersebut pada wanita-wanita Mukminat saja, atau wanita-wanita yang memiliki hubungan shuhbah (pertemanan yang akrab) dan wanita-wanita yang menjadi budak atau pembantunya. Sedangkan ulama lain mengartikan frase ”nisaa`ihinna” pada ayat itu secara mutlak, sehingga berlaku untuk semua wanita, baik Mukminat maupun kaafirah (wanita kafir), tanpa ada pengkhususan.

Imam Ar Raziy di dalam Tafsirnya menyatakan; juz 11, 307

“Adapun firman Allah swt ”au nisaa`ihinna”, ada dua penafsiran terhadap frase ini;

Pertama : yang dimaksud wanita-wanita di sini yang seagama. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf. Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Seorang wanita Muslimah tidak boleh menyendiri di antara ahlu dzimmah, dan ia tidak boleh menampakkan auratnya di hadapan wanita kafir, sebagaimana ia tidak boleh menampakkannya di hadapan laki-laki asing, kecuali wanita kafir itu adalah budak miliknya; berdasarkan firman Allah swt, ”au maa malakat aimaanihinna” [kecuali kepada budak-budak yang mereka miliki]. Dan Umar pernah mengirim surat kepada Abu ’Ubaidah ra untuk melarang wanita-wanita ahlul Kitab masuk ke pemandian umum bersama dengan wanita-wanita Mukminat.

Kedua, yang dimaksud dengen wanita-wanita di sini adalah semua wanita. Ini adalah pendapat yang terpilih dan pendapat ulama salaf harus dibawa kepada ”sesuatu yang dipandang baik”.[Imam Abu Abdullah Mohammad bin ’Umar bin al-Hasan bin Husain al-Taimiy al-Raaziy (Imam Fakhrud Diin Ar Raaziy), Mafaatiih al-Ghaib, juz 11, hal. 307]

Imam An Nasafiy dalam Tafsir An Nasafiy menyatakan;

“[Au Nisaa`ihinna], yakni al-haraair (wanita-wanita merdeka), disebabkan kemutlakan lafadz ini mencakup wanita-wanita merdeka”.[Imam An Nasaafiy, Tafsir An Nasafiy, juz 2, hal. 411]

Imam Asy Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadir menyatakan;

“Makna dari frase (au nisaa`ihinna) : adalah khusus bagi wanita-wanita yang memiliki pergaulan erat dengan wanita tersebut karena hubungan al-khidmah (perbantuan: menjadi pembantu wanita itu) atau shuhbah (pershahabatan); masuk ke dalam pengertian frase ini adalah al-imaa’ (budak wanita-wanita). Dan dan keluar dari makna frase ini, wanita-wanita kafir dari golongan ahlu dzimmah, dan wanita-wanita kafir lainnya. Tidak halal bagi wanita Muslimah menampakkan perhiasannya kepada mereka (wanita-wanita kafir), supaya wanita-wanita kafir itu tidak menceritakan aurat wanita Muslimah kepada kaum laki-laki. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Namun, penisbahan (peng-idlafahan) kepada ilaihinna menunjukkan bahwa hal itu khusus untuk wanita-wanita Mukminat”.[Imam Asy Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 5, hal. 209]

Imam Al Baghawiy di dalam Tafsir al-Baghawiy menyatakan;

“Firman Allah swt [au nisaa`ihinna], maksudnya, sesungguhnya Allah membolehkan seorang wanita melihat badan wanita lain, selain antara pusat dan lutut, sebagaimana laki-laki yang menjadi mahram. Ketentuan ini berlaku jika wanita tersebut Muslimah. Namun jika wanita itu adalah wanita kafir, bolehkah seorang wanita Muslimah menampakkan auratnya di hadapan mereka (wanita kafir)? Ahli ilmu berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka berpendapat, boleh sebagaima bolehnya wanita Muslimah menampakkan auratnya di hadapan wanita Muslimah lainnya.Sebab, wanita kafir termasuk wanita (nisaa`ihinna). Sebagian yang lain berpendapat tidak boleh. Sebab, Allah swt berfirman, ”Nisaa`ihinna”, sedangkan wanita kafir bukan termasuk wanita-wanita kami; dan selain itu mereka berbeda agama. Oleh karena itu, wanita kafir justru lebih jauh dibandingkan laki-laki asing. Umar bin Khaththab ra pernah berkirim surat kepada Abu ’Ubaidah bin Jarah untuk melarang wanita-wanita Ahlul Kitab masuk ke dalam pemandian umum bersama wanita-wanita Muslimah”.[Imam Al Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 6, hal. 35]

Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;

“Firman Allah swt [au nisaa`ihinna], maksudnya adalah, seorang wanita Muslimah juga diperbolehkan menampakkan perhiasaannya (auratnya) kepada wanita-wanita Muslimah, namun tidak boleh kepada ahlu dzimmah (wanita-wanita kafir ahlu dzimmah); agar wanita-wanita kafir itu tidak menceritakan aurat wanita-wanita Muslimah kepada suami-suami mereka. Walaupun hal ini mesti dihindari (mahdzuuran) pada semua wanita, akan tetapi kepada wanita ahlu dzimmah lebih ditekankan lagi. Sesungguhnya tidak ada larangan mengenai masalah ini (menceritakan aurat wanita lain) bagi wanita ahlu dzimmah. Adapun untuk wanita Muslimah, sesungguhnya, ia memahami bahwa hal ini (menceritakan aurat wanita lain kepada suaminya) adalah haram. Oleh karena itu, hendaknya ia menjaga diri dari hal tersebut. Rasulullah saw bersabda, ”Janganlah seorang wanita menampakkan auratnya di hadapan wanita lain, yang kemudian ia menceritakannya kepada suaminya, sehingga seakan-akan suaminya melihat aurat wanita itu”.[HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’uud]..”[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal. 48]. Selanjutnya Imam Ibnu Katsir mengetengahkan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khaththab ra pernah berkirim surat kepada Abu ’Ubaidah ra melarang wanita-wanita kafir masuk ke pemandian-pemandian umum bersama wanita Muslimah. Mujahid, dan Ibnu’Abbas juga melarang wanita Muslimah menampakkan auratnya di hadapan wanita-wanita kafir. [Ibidem, juz 6, hal. 48]

Prof. Mohammad Ali As Saayis di dalam Kitab Tafsiir Ayaat al-Ahkaam menyatakan, “Wanita Muslimah diperbolehkan menampakkan sebagian perhiasannya kepada wanita kafir, sebagaimana ia diperbolehkan menampakkannya di hadapan wanita Muslimah. Ini adalah salah satu pendapat dari dua pendapat dari kalangan Hanafiyyah dan Syafiyyah. Imam Ghazaliy membenarkan pendapat ini dari ulama Syafi’iyyah dan Imam Abu Bakar Ibnu al-’Arabiy. Sedangkan ulama-ulamalain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ”nisaa`ihinna”, adalah khusus untuk wanita-wanita Mukminat. Oleh karena ”idlafah” ditujukan untuk mengkhususkan; maksudnya khusus untuk wanita-wanita yang memiliki hubungan shuhbah (pershahabatan) dan ikhwah (persaudaraan) dalam agama. Dengan demikian, wanita Muslimah tidak boleh menampakkan sebagian perhiasannya yang tertutup kepada wanita kafir. Pendapat ini disandarkan kepada mayoritas ulama Syafi’iyyah. Abu Sa’ud berkata dari ulama Hanafiyyah, bahwa ia menshahihkan (membenarkan) dua pendapat ini di dalam madzhabnya…”[Prof Mohammad Ali al-Saayis, Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, hal. 164]

Demikianlah, para ulama telah berbeda pendapat mengenai hukum seorang wanita Muslimah menampakkan auratnya di hadapan wanita kafir. Lalu, pendapat mana yang rajih.

Pendapat Yang Rajih

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ibnu al-’Arabiy, Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa seorang wanita Muslimah diperkenankan memperlihatkan atau terlihat auratnya di hadapan wanita kafir.

Pasalnya, dlamir (kata ganti) pada ayat ini berfungsi sebagai lil ittibaa’ (untuk mengikuti) dan menggantikan kedudukan al-niswah atau al-nisaa’ (wanita). Syaikhul Mufassiriin, Imam Ibnu Al ’Arabiy menyatakan bahwa pada ayat di atas (surat An Nuur : 31) memiliki lebih dari 25 dlamir (kata ganti) yang di dalam al-Quran tidak diketahui apakah ia punya kesamaan.Oleh karena itu, dlamir ini disebut kembali untuk tujuan ”ittibaa’”.

Selain itu, idlaafah pada frase ”nisaa`ihinna” bukan ditujukan kepada penyeru maknawiy (daa’ ma’nawiy), akan tetapi ditujukan untuk penyeru lafdziy (daa’ lafdziy) untuk menjamin kefasihannya. Kasus ini sama dengan dua dlamir (dua kata ganti) yang di-idlafah-kan kepada dua dlamirnya; seperti firman Allah swt.”

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (TQS Asy Syams [91]: 8)

Maksud ayat ini adalah; “alhamahaa al-fujuur wa al-taqway” (Allah mengilhamkan kefasikan dan dosa”). Atas dasar itu peng-idlafah-an keduanya kepada dua dlamir untuk mengikuti (ittibaa’) dlamir-dlamir yang terdapat di awal surat tersebut, yakni ”wasy syamsi wa dluhahaa”. (TQS Asy Syams (91):1). 

Kasus lain yang sama, terdapat dalam firman Allah swt;

“(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (TQS Asy Syams [91] : 11)

Maksud frase ”bithaghwaahaa” pada ayat ini adalah, ”bi al-thughway” atau ”al-thughyaani”. Oleh karena itu, penyebutan dlamiirTsamuud tidaklah perlu, akan tetapi, ia tetap disebutkan ”li muhsin al-muzaawijah” (memperbagus pasangannya).

Adapun riwayat-riwayat yang diketengahkan para fuqaha seperti riwayat-riwayat berikut ini;

Dari Ibnu ‘Abbas ra : [au nisaa`ihinna], ia berkata, “Dia adalah wanita-wanita Muslimaat yang tidak boleh menampakkan auratnya kepada wanita-wanita Yahudi dan Nashraniy, yakni leher, anting-anting, dan, selempang, dan bagian-bagian yang tidak boleh dilihat kecuali mahramnya saja”.[HR. Sa’id bin Manshuur, Ibnu Mundzir, dan Imam Baihaqiy di dalam Sunannya]

“Sa’id meriwayatkan, “Jarir telah meriwayatkan kepada kami, dari Laits, dari Mujahid, bahwasanya ia berkata, “Janganlah seorang wanita Muslimah melepaskan kerudungnya di depan wanita musyrik. Sebab, Allah swt berfirman, “au nisaa`ihinna”, dan wanita musyrik bukanlah termasuk “nisaa`ihinna”.

“Dari Makhuul dan ‘Ubadah bin Nusayyi dituturkan bahwasanya keduanya membenci jika seorang wanita Nashraniy, Yahudi, atau Majusiy mencium wanita muslimah”.

”Dari Umar bin Khaththab ra dituturkan bahwasanya ia pernah mengirim surat kepada Abu ’Ubaidah ra, ”Amma ba’du.Sesungguhnya, telah sampai kabar kepadaku, bahwasanya ada sebagian wanita Muslim masuk ke dalam pemandian-pemandian umum bersama dengan wanita musyrik, laranglah orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabmu dari hal itu. Sesungguhnya, tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk dilihat auratnya, kecuali oleh wanita yang seagama”.[HR. Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Mundzir]; sesungguhnya riwayat-riwayat semacam ini tidak absah digunakan sebagai hujjah. Pasalnya, semua riwayat di atas mauquf tidak marfu’. Padahal, berhujjah dengan hadits mauquf jelas-jelas tertolaknya.

Dengan demikian, pendapat rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ibnu al-’Arabiy, dan ulama-ulama lain yang sejalan dengan pendapatnya.

Batasan Aurat Yang Boleh Dilihat

Pada dasarnya, surat An Nuur (24): 31 tidak memberikan batasan yang tegas mana aurat wanita yang boleh terlihat di hadapan wanita-wanita kafir. Hanya saja, seorang wanita Muslimah mesti menjaga kehormatan dirinya dengan tidak membuka aurat yang tabu (semacam payudara, kemaluan, paha, dan lain sebagainya) di hadapan wanita-wanita kafir. Hendaknya ia mengenakan pakaian yang sopan, dan tidak merendahkan dirinya.

Jika seorang wanita berada di kehidupan umum, maka ia wajib menutup auratnya, dan mengenakan jilbab dan kerudung (khimar). Pasalnya, syariat telah mewajibkan wanita Muslim menutup aurat dan mengenakan pakaian Islamiy (jilbab dan kerudung) di kehidupan umum; tanpa memandang lagi dengan siapa ia berinteraksi. Ketentuan ini didasarkan firman Allah swt;

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..” (TQS. al-Nuur:31) 

Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.

Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [2]

Sedangkan perintah mengenakan jilbab disebutkan dengan sharih di dalam firman Allah swt;

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (TQS. al-Ahzab : 59)

Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]

Selain harus mengenakan kerudung (khimar) dan jilbab, wanita Muslimah juga dilarang ”tabarruj” ketika berada di kehidupan umum. Tabarruj adalah bersolek yang berlebihan untuk memperlihatkan kecantikan dirinya. Allah swt telah melarang tabarruj. Allah swt berfirman;

“Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti haidl dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj).” (TQS. al-Nuur: 60)

Jika wanita tua dilarang untuk tabarruj, lebih-lebih lagi wanita yang belum tua dan masih mempunyai keinginan untuk menikah.

Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab menyatakan, “Wa al-tabarruj : idzhaar al-mar`ah ziinatahaa wa mahaasinahaa li al-rijaal(tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan anggota tubuh untuk menaruh perhiasan kepada laki-laki non mahram.”[3]

Inilah batasan-batasan yang harus dipahami oleh wanita Muslimah ketika ia berada di kehidupan umum. Wallahu a’lam bish Shawab.

Dikutip.

Keterangan:

[1] Imam Ibnu ‘Asyuur, al-Tahriir wa al-Tanwiir, juz 9, hal. 471; Imam Asy Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 5, hal. 209; Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 6, hal. 35; Imam al-Mawardiy, al-Naktu wa al-‘Uyuun, juz 3, hal. 169; Imam al-Khazin,Lubaab al-Ta’wiil fi Ma’aaniy al-Tanziil, juz 4, hal. 500; dan sebagainya.

[2] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257

[3] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 2/212; Tafsir Qurthubiy, juz 10/9; Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.46; Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 3/125; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/554; al-Jashshash, Ahkaam al-Quran 2,juz 5/230; Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 3/305; Ruuh al-Ma’aaniy, juz 22/7-8; dan sebagainya.